Selasa, Desember 30, 2008

KONTROVERSI bulan SURO/MUHARAM



Muharram (Suro) dalam kacamata masyarakat, khususnya Jawa, merupakan bulan keramat. Sehingga mereka tidak punya keberanian untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak di indahkan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo. Bahkan katanya : “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari berbagai acara. Selain itu, untuk memperoleh kesalamatan diadakan berbagai kegiatan. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam satu Suro (Muharram), entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau. Mungkin supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan lainnya.


Acara lain yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama kyai slamet di keraton Kasunanan Solo, serta ritual Jamasan (mencuci benda-benda pusaka) dianggap sebagai rangkaian upacara dalam memperingati Tahun Baru Islam, Hijriyah. Padahal, upacara-upacara adat itu, secara asal-usul budaya, sama sekali bukan dalam memperingati tahun baru Islam, melainkan memperingatai tahun baru Saka yang memang selalu jatuh hampir bersamaan dengan kalender Hijriyah.Peristiwa ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela berpayah-payah. Apa tujuannya ? Tiada lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rizki lancar, dagangan laris dan sebagainya.Banyak sekali media, terutama pemberitaan televisi yang menyamakan saja peringatan 1 Muharram yang berasal dari kalender Hijriyah dengan peringatan 1 Suro yang mengikuti perhitungan kalender tahun Saka.


Namun kepentingan kepada Muharram (Suro) ini tidak dimonopoli oleh suku atau bangsa tertentu. Syi’ah umpamanya, -mayoritas di Iran, meskipun di Indonesia sudah meruyak di berbagai sudut kota dan desa-, memiliki keyakinan tersendiri tentang Muharram (Suro). Terutama pada tanggal 10 Muharram, mereka mengadakan acara akbar untuk memperingati dan menuntut bela atas meninggalnya Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Seperti dikatakan oleh Musa Al-Musawi tokoh ulama mereka : “Belum pernah terjadi sepanjang sejarah adanya revolusi suci yang dikotori kaum Syi’ah dengan dalih mencintai Husain” Perbuatan buruk itu setiap tahun masih terus dilakukan kaum Syi’ah, terutama di Iran, Pakistan, India dan Nabtiyah di Libanon. Peritiwa ini sempat menimbulkan pertikaian berdarah anyara Syi’ah dan Ahlus Sunnah di beberapa daerah di Pakistan yang menelan korban ratusan jiwa yang tidak bersalah dari kedua belah pihak. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI hal. 85]


Dikatakan pula : “Orang-orang Syi’ah setiap bulan Muharram memperingati gugurnya Imam Husain di Karbala tahun 61H, peringatan tersebut dilakukan dengan cara berlebih-lebihan. Dari tanggal 1 Muharram sampai 9 Muharram diadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju ke Al-Husainiyah. Peserta pawai hanya mengenakan sarung saja sedang badanya terbuka. Selama pawai mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi sehingga luka memar. Acara puncak dilakukan dengan melukai kepala terutama dahinya sehingga berlumuran darah. Darah yang mengalir ke kain putih yang dikenakan sehingga tampak sangat mencolok. Suasana seperti itu membuat mereka yang hadir merasa sedih, bahkan tidak sedikit yang menangis histeris. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, hal. 51]


Mengapa mereka begitu ekstrim ? Karena ziarah ke kuburan Al-Husain merupakan amalan yang mereka anggap paling mulia. Dalam kitab mereka semisal Furu’ul Kafi oleh Al-Kulani, Man La Yahdhuruhul Faqiihu oleh Ibnu Babawih dan kitab lainnya, diriwayatkan : “… Barangsiapa mendatangi kubur Al-Husain pada hari Arafah dengan mengakui haknya maka Allah akan menulis baginya seribu kali haji mabrur, seribu kali umrah mabrur dan seribu kali peperangan bersama Nabi yang diutus dan imam yang adil”. Dalam kitab Kamiluzaroot dan Bahirul Anwar disebutkan “ Ziarah kubur Al-Husain merupakan amalan yang paling mulia”, riwayat lainnya, “Termasuk amalan yang paling mulia adalah ziarah kubur Al-Husain”. Bahkan Karbala itu lebih mulia dibanding Makkah Al-Mukaramah. Karena Al-Husain dikuburkan di disana. [Lihat Ushul Madzhab Asy-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna Asyriyah Dr Nashir Al-Qifari, hal. 460-464]

Senin, Desember 22, 2008

GOLPUT HARAM ???




Sangat mengagetkan bagi orang awam seperti saya ketika ada ide di kalangan orang pintar untuk mengHARAMkan GOLPUT.
di saat situasi sebagian besar orang sudah mulai tidak percaya lagi pada KAUM ELITIS yang berkendaraan partai politik dan berkedok demokrasi, ide tersebut mencuat dan terujar dari salah satu tokoh / negarawan yang selama ini terkenal baik dan terpercaya.
ya, ide itu mulai menjadi pergunjingan ketika HNW mengusulkan kepada M** untuk mengHARAMkan GOLPUT. entah ini sebagai reaksi se-saat ataukah sebagai ekspresi dari kekalutan sebagian KAUM ELITIS yang mulai menjemukan bagi rakyat kecil dan mulai tidak di gubris keberadaanya.
kemudian muncullah pertanyaan besar APAKAH BENAR PENG-HARAMAN GOLPUT??? ADAKAH DALIL SYAR'Inya???
bukan bermaksud berbuat ricuh, tapi tolong bagi BLOGGER yang TAU & BISA menjawab pertanyaan di atas, mohon di tuangkan di sini.
AGAR KAMI RAKYAT KECIL TAHU ILMUNYA.
OK'S, I'M WAITING U'R ANSWER & REASON. THANK'S B 4

Senin, Agustus 11, 2008

BISMILLAH....



Bismillah...
Kakiku akan mengawali langkah baru, semoga kali ini Ridlo Alloh SWT menyertai.
Akhirnya tetes air penyegar dahaga itu Insyalloh segera kurengkuh.

Alhamdulillah...
Doa kecilku yang tidak khusuk di jawab Alloh SWT

Bismillah...

Selasa, Agustus 05, 2008

PERMOHONANq "a new life"




Ya Alloh..
aku gak ingin seperti pohon tua ini,
aku hanya berharap Engkau kabulkan doa kecilku yang tidak kusyu' semalam
aku hanya ingin kehidupan yang baru
kabulkanlah ya Alloh..

"A NEW LIFE"



Aku ingin seperti yang di gadang-gadang semua orang Indonesia dengan simbol ini...
Semoga Alloh mengabulkan permohonanku ini..

Selasa, Juni 10, 2008

SULIT MEMILIH atau MEMILIH SULIT


"aku sudah mengalami apa yang kamu alami, tapi kamu tentu pernah mangalami apa yang aku alami"
perkataan Bapak yang dulu kuanggap biasa ini sekarang baru aku rasakan betul dalam realita hidup ini. Semalam suntuk, aku memikirkan apa yang harus kulakukan saat ini. Seperti kata orang pintar, "bagai makan buah simalakama' walaupun aku jg tidak tau seperti apa buah itu, tapi aku yakin tidak ada orang waras yang mau memakannya.
lama aku terdiam memutar otak ini, terbersit dalam pikiranku, "sudah terlalu banyakkah aku lalai akan Tuhanku?" Astaghfirulloh... semoga Alloh SWT tidak murka pada aku yang hina ini.
Realita hidup yang rumit saat ini, aku yakin Tuhanku menginginkan sesuatu terjadi padaku. Mungkinkah dengan jalan seperti ini Tuhanku mendidik agar aku lebih baik?
Diakhir malamku, aku teingat janji Tuhanku "sesungguhnya sesudah kesulitan itu terdapat kemudahan" saat itu juga aku tersentak dan aku teringat nasehat sahabatku "Jangan kau katakan pada Tuhanmu AKU PUNYA MASALAH BESAR, tapi katakanlah pada masalahmu, AKU PUNYA TUHAN YANG BESAR"

Jumat, Juni 06, 2008

AKAL BULUS busuk menghindari TANGGUNGJAWAB



SUNGGUH LICIK PEMERINTAHAN IN******* INI.
Mereka tega membunuh rakyatnya sendiri.rakyat yang mereka peralat juga pada saat MEREKA NAIK TAHTA.
sudah licik, busuk lagi. Sekarang mereka pura-pura sibuk mengurus "PELANGGARAN HAM" yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
MASIH KURANG KAH??? mereka ditegur Sang Maha Pemimpin karena kebusukan mereka???

Selasa, Mei 27, 2008


Senin, Mei 05, 2008

Tragedi Guru Oemar Bakrie

Beginilah nasib si"TANPA TANDA JASA", bak cerita roman usang yang menggambarkan AMBURADULnya Pendidikan negeri ini. Semua berawal dari heboh "RITUAL" yang tanpa disadari menjadi momok banyak pelaku pendidikan, ya itulah UAN (Ujian Akhir Nasional).

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa hal yang dialami puluhan pendidik, paling sedikit 30 guru, di Deli Serdang dan Makassar, hari-hari ini adalah tragedi paling ironis dalam sejarah pendidikan kita. Guru, 15 di Makassar dan 18 di Deli Serdang, digelandang ke kantor polisi sebagai pesakitan. Mereka tak ubahnya kriminal, bahkan untuk kasus Deli Serdang di Sumatera Utara, diperlakukan bak teroris karena ditangkap oleh satuan polisi terlatih yang tugasnya memburu teroris: Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Guru-guru itu, sebagian besar adalah ibu-ibu, berjejer di dalam kamar pemeriksaan polisi setempat. Tidak sedikit di antaranya menutup muka saat berhadapan dengan kamera wartawan. Mereka tak pernah membayangkan barang sedetik pun, bahwa ada suatu masa dalam hidupnya akan berurusan dengan polisi sebagai pelaku tindak kriminal. Saya tak dapat membayangkan betapa malunya mereka.

Apa sebenarnya yang telah dilakukan guru-guru itu hingga harus berhubungan dengan polisi? Semua berawal ketika mereka ingin melihat (tidak ada guru yang tidak memiliki keinginan seperti ini) murid-murid mereka lulus ujian nasional tahun ini. Niat mulia itu ternyata diwujudkan lewat cara yang tidak benar, yakni membetulkan jawaban murid untuk kasus Deli Serdang dan membuatkan kunci jawaban untuk kasus Makassar.

Apa yang harus dikatakan untuk kelakuan mereka yang seharusnya jadi teladan ini? Seorang kolega saya mengatakan guru-guru itu harus dihukum seberat-beratnya karena mereka tidak pantas melakukan semua itu. "Bagaimana mau menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas jika guru-gurunya seperti itu?!" kata kawan itu berlagak seperti politisi.

Rekan saya yang lain, berada di ekstrem yang satu lagi, justru meminta empati publik. Argumentasinya begini: hal yang dilakukan guru-guru itu adalah respons dari sistem pendidikan yang amburadul. Mereka adalah produk sebuah sistem yang tidak berpihak pada guru, juga sekolah yang jauh dari pusat kekuasaan, yang salah satunya di Deli Serdang dan Makassar. Guru-guru itu seperti ditempatkan di sudut ruangan di mana mereka tidak punya pilihan lain, kecuali berbuat curang.

Memang ada yang aneh dalam pendidikan kita ini, ambil saja contoh kesejahteraan guru. Di tangan mereka, kita mempertaruhkan mutu anak-anak kita, yang dalam bahasa bombastisnya, generasi penerus bangsa, tapi kesejahteraan mereka jauh dari memadai. Puluhan tahun mengabdi, mereka nyaris tidak bisa memiliki apa-apa. Maka tidaklah heran jika ada cerita guru jadi tukang ojek, bahkan dalam tayangan Liputan 6 kita bisa saksikan seorang guru terpaksa menambah pendapatan dengan menjadi pemulung.

Hukum ekonomi tentang pasokan dan permintaan juga tidak berlaku di sini. Hukum besi ini mengajarkan kita bahwa pasokan yang terbatas membuat harga jasa atau barang itu lebih tinggi. Saat ini, mereka yang mau menjadi guru amat terbatas, dibandingkan mereka yang antre mau menjadi profesional di bidang, misalnya, jasa keuangan. Jika hukum ekonomi itu bekerja, maka seharusnya gaji guru lebih besar dari gaji pekerja di bidang lain yang pasokannya melimpah. Faktanya, itu tidak terjadi.

Guru sepertinya sudah ditakdirkan untuk hidup menderita, seperti guru Oemar Bakrie dalam lagu Iwan Fals। Tragisnya, ketika mereka menghadapi masalah, Departemen Pendidikan Nasional justru tidak mau membantu. Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo berkata lantang, "Mereka harus dihukum." Tak ada nada empati, apalagi penyesalan sedikit pun keluar dari mulut Pak Menteri yang menduduki posisinya hari ini karena jasa guru. (liputan6sctv)

Selasa, April 29, 2008

Langit Lapis Tujuh, Tidak Berarti Tujuh Lapis

Menarik menyimak argumentasi para peminat astronomi tentang makna sab'a samaawaat (tujuh langit). Namun ada kesan pemaksaan fenomena astronomis untuk dicocokkan dengan eksistensi lapisan-lapisan langit.
Di kalangan mufasirin lama pernah juga berkembang penafsiran lapisan-lapisan langit itu berdasarkan konsep geosentris. Bulan pada langit pertama, kemudian disusul Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus pada langit ke dua sampai ke tujuh.
Konsep geosentris tersebut yang dipadukan dengan astrologi (suatu hal yang tidak terpisahkan dengan astronomi pada masa itu) sejak sebelum zaman Islam telah dikenal dan melahirkan konsep tujuh hari dalam sepekan. Benda-benda langit itu dianggap mempengaruhi kehidupan manusia dari jam ke jam secara bergantian dari yang terjauh ke yang terdekat.
Bukanlah suatu kebetulan 1 Januari tahun 1 ditetapkan sebagai hari Sabtu (Saturday -- hari Saturnus -- atau Doyobi dalam bahasa Jepang yang secara jelas menyebut nama hari dengan nama benda langitnya). Pada jam 00.00 itu Saturnus yang dianggap berpengaruh pada kehidupan manusia. Bila diurut selama 24 jam, pada jam 00.00 berikutnya jatuh pada matahari. Jadilah hari berikutnya sebagai hari matahari (Sunday, Nichyobi). Dan seterusnya. Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi hari Bulan (Monday, getsuyobi, Senin), hari Mars (Kayobi, Selasa), hari Merkurius (Suiyobi, Rabu), hari Jupiter (Mokuyobi, Kamis), dan hari Venus (Kinyobi, Jum'at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.
Pemahaman tentang tujuh langit sebagai tujuh lapis langit dalam konsep keislaman mungkin bukan sekadar pengaruh konsep geosentris lama, tetapi juga diambil dari kisah mi'raj Rasulullah SAW. Mi'raj adalah perjalanan dari masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha yang secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.
Secara sekilas kisah mi'raj di dalam hadits shahih sebagai berikut: Mula-mula Rasulullah SAW memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi. Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir.
Jibril juga mengajak Rasulullah SAW melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib.
Lapisan Langit?
Langit (samaa' atau samawat) di dalam Al-Qur'an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu, dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak dikenal dalam astronomi.
Ada yang berpendapat lapisan itu ada dengan berdalil pada QS 67:3 dan 71:15 sab'a samaawaatin thibaqaa. Tafsir Depag menyebutkan "tujuh langit berlapis-lapis" atau "tujuh langit bertingkat-tingkat". Walaupun demikian, itu tidak bermakna tujuh lapis langit. Makna thibaqaa, bukan berarti berlapis-lapis seperti kulit bawang, tetapi (berdasarkan tafsir/terjemah Yusuf Ali, A. Hassan, Hasbi Ash-Shidiq, dan lain-lain) bermakna bertingkat-tingkat, bertumpuk, satu di atas yang lain.
"Bertingkat-tingkat" berarti jaraknya berbeda-beda. Walaupun kita melihat benda-benda langit seperti menempel pada bola langit, sesungguhnya jaraknya tidak sama. Rasi-rasi bintang yang dilukiskan mirip kalajengking, mirip layang-layang, dan sebagainya sebenarnya jaraknya berjauhan, tidak sebidang seperti titik-titik pada gambar di kertas.
Lalu apa makna tujuh langit bila bukan berarti tujuh lapis langit? Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung banyaknya. Dalam matematika kita mengenal istilah "tak berhingga" dalam suatu pendekatan limit, yang berarti bilangan yang sedemikian besarnya yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Kira-kira seperti itu pula, makna ungkapan "tujuh" dalam beberapa ayat Al-Qur'an.
Misalnya, di dalam Q.S. Luqman:27 diungkapkan, "Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah." Tujuh lautan bukan berarti jumlah eksak, karena dengan delapan lautan lagi atau lebih kalimat Allah tak akan ada habisnya.
Sama halnya dalam Q. S. 9:80: "...Walaupun kamu mohonkan ampun bagi mereka (kaum munafik) tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampun...." Jelas, ungkapan "tujuh puluh" bukan berarti bilangan eksak. Allah tidak mungkin mengampuni mereka bila kita mohonkan ampunan lebih dari tujuh puluh kali.
Jadi, 'tujuh langit' semestinya difahami pula sebagai benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.
Lalu apa makna langit pertama, ke dua, sampai ke tujuh dalam kisah mi'raj Rasulullah SAW? Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi'ra, yang berarti menafsirkan tujuh langit dalam makna fisik. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha juga dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra' mi'raj adalah langit ghaib.
Dalam kisah mi'raj itu peristiwa fisik bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, saya sependapat dengan Muhammad Rasyid Ridha dan lainnya bahwa pengertian langit dalam kisah mi'raj itu memang bukan langit fisik yang berisi bintang- bintang, tetapi langit ghaib

"Perkawinan, Pria & Wanita"

  1. Orang yang membujang adalah orang yang belum menemukan penghibur duka dan dia baru memperolehnya dengan kawin.
  2. Jangan menyalahkan perasaan istri anda karena perasaannya yang terbaik ialah ketika ia menerima anda sebagai suami.
  3. Perawan tua ialah wanita yang kehilangan kesempatan menyusahkan seorang pria.
  4. Wanita bisa memaafkan suatu pengkhianatan suaminya, tetapi dia tidak bisa melupakannya.
  5. Kecantikan wanita tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kemuliaan akhlak dan perilakunya.
  6. Sebelum kawin, wanita hafal seluruh jawaban dan sesudah kawin, ia hafal seluruh pertanyaan.
  7. Barangsiapa mengawini wanita karena hartanya, maka dia telah menjual kemerdekaannya.
  8. Wanita adalah bintang dan pelita bagi pria. Tanpa pelita, pria bermalam dalam kegelapan.
  9. Wanita lebih cepat daripada pria dalam menangis dan dalam mengingat peristiwa yang menyebabkan dia menangis.
  10. Sirnalah kebahagiaan seorang wanita jika ia tidak mampu menjadikan suaminya kawan yang termulia.
  11. Wanita sangat berlebihan dalam mencintai dan membenci, dan tidak mengenal pertengahannya.
  12. Wanita selalu tergolong manusia halus dan lembut sampai saat dia kawin.
  13. Tidak mungkin seorang pria hidup berbahagia tanpa didampingi oleh istri yang mulia.
  14. Wanita hidup untuk berbahagia dengan cinta, sementara pria mencintai untuk hidup berbahagia.
  15. Kejeniusan wanita terletak di dalam hatinya.
  16. Seorang wanita yang bijaksana menambahkan gula pada kalimatnya setiap kali berbicara dengan suaminya, dan mengurangi garam pada ucapan suaminya.
  17. Cincin kawin adalah cincin termahal di dunia, sebab mengharuskan pemberinya mencicil harganya setiap bulan tanpa henti.
  18. Sesungguhnya tidak ada wanita yang sangat cantik, yang ada ialah kaum pria yang sangat lemah bila berhadapan dengan kecantikan.
  19. Wanita tidak diciptakan untuk dikagumi semua pria tetapi sebagai sumber kebahagiaan seorang suami.
  20. Pada waktu bertunangan, lelaki banyak berbicara dan perempuan mendengarkan. Pada saat perkawinan, perempuan berbicara dan pengantin lelaki mendengarkan. Sesudah perkawinan, suami dan istri banyak berbicara dan para tetangga mendengarkan.
  21. Istri yang bersikap jujur dan setia kepada suami meringankan setengah beban kehidupan suaminya.
  22. Seorang wanita menghadapi kesulitan apabila ia berada di antara pria yang dicintainya dan yang mencintainya.